Para mahasiswa eksodus Papua yang berhimpun di auditorium Uncen, Senin lalu. -OG |
Semuanya tergabung dalam mahasiswa eksodus Papua yang hendak mendirikan Posko Solidaritas Pelajar dan Mahasiswa di auditorium Universitas Cenderawasih (Uncen), Senin lalu.
Menurut Koalisi Pengacara Hak Asasi Manusia (HAM) Papua yang juga sebagai Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, Emanuel Gobay, sebanyak 726 mahasiswa sudah dipulangkan, sejak Selasa (24/9/2019), sedangkan 7 lainnya masih diperiksa intensif.
“Tujuh orang ini dibawa ke Ditreskrimum Polda Papua untuk menjalani pemeriksaan lanjutan,” katanya, di Kota Jayapura, Rabu (25/9).
Namun dari hasil pemeriksaan lanjutan, kata Gobay, enam di antaranya ditetapkan sebagai tersangka. “Satunya lagi baru menyusul dipulangkan tadi, karena tidak cukup petunjuk yang mengarahkan dirinya menjadi tersangka.”
Catatan yang diterima Jubi dari Koalisi Pengacara HAM Papua, keenam mahasiswa yang ditetapkan menjadi tersangka di antaranya, Assa Asso atas tuduhan melanggar Pasal 106 jo Pasal 87 KUHP, dan atau Pasal 110 KUHP, dan atau Pasal 14 ayat (1), (2) dan Pasal 15 UU No 1/1946, dan atau Pasal 66 UU No 24/2009, dan atau Pasal 160 KUHP, dan atau Pasal 187 KUHP, dan atau Pasal 365 KUHP, dan atau Pasal 170 KUHP ayat (1) KUHP, dan atau Pasal 2 UU No 12/1951 jo Pasal 64 KUHP.
Tersangka kedua Yogi Wenda atas tuduhan melanggar Pasal 170 ayat 2 ke (2e dan 3e) KUHP dan Pasal 212 KUHP dan atau Pasal 53 KUHP, ketiga Jembrif Kogoya alias Timi sebagai tersangka atas tuduhan melanggar Pasal 170 ayat (1) ke 2e dan 3e dan Pasal 212 KUHP.
Keempat, Abraham Dote atas tuduhan melanggar Pasal 160 KUHP dan atau Pasal 187 KUHP, dan atau Pasal 365 KUHP, dan atau Pasal 170 ayat (1) KUHP, dan atau Pasal 2 UU No 12/1951 jo Pasal 64 KUHP, kelima Elimus Bayage alias Eli atas tuduhan melanggar Pasal 170 ayat 2 ke (2e dan 3e) KUHP dan Pasal 212 KUHP, dan keenam Yandu Kogoya atas tuduhan melanggar Pasal 170 ayat 2 ke (2e dan 3e) KUHP dan Pasal 212 KUHP.
“Saat ini keenam tersangka di sel tahanan Polda Papua,” kata Gobay.
Gustaf Kawer, salah satu pengacara HAM Papua menambahkan, langkah selanjutnya untuk mengadvokasi keenam mahasiswa yang ditetapkan sebagai tersangka, kemungkinan akan diajukan praperadilan ke Kapolda Papua, tentang penangkapan dan penahanan tidak sah.
“Nanti kami diskusikan di internal tim litigasi koalisi, kemudian kami putuskan soal langkah hukum ini,” katanya.
Mahasiswa eksodus di Yalimo turut aksi
Di Kabupaten Yalimo, Provinsi Papua, para mahasiswa turut menggelar aksi, pada Selasa (24/9/2019). Mereka menuntut pemerintah daerah agar segera memulangkan rekan-rekan mereka, yang masih berada di luar Papua atau di kota studi masing-masing.
Massa berkumpul di kantor bupati Yalimo. Koordinator mahasiswa eksodus asal Yalimo, Alfons menyampaikan, mereka meminta Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Yalimo ikut mengadvokasi dan membantu para aktivis mahasiswa yang ditahan.
“Kami juga sangat mendukung pembukaan sidang PBB di Jenewa yang dimulai Senin, 23 September 2019. Hidup bersama NKRI, maka tidak akan ada keadilan bagi kita orang Papua,” tegasnya, dari Yalimo, Selasa (24/9/2019).
Sementara itu, Siska Gombo, salah satu mahasiswi eksodus mengatakan, mereka pulang ke Papua dengan tujuan menuntut penentuan nasib sendiri bagi bangsa Papua melalui referendum.
“Kami mahasiswa juga mendesak agar pemerintah segera tarik militer organik maupun nonorganik dari Kabupaten Yalimo,” katanya.
Sesudah aksi, malam harinya kejadian nahas menimpa kantor lama bupati Yalimo di Elelim, ibu kota Kabupaten Yalimo. Kantor itu terbakar secara tiba-tiba. Kantor lama bupati Yalimo ini, difungsikan menjadi beberapa kantor dinas di lingkungan Pemkab Yalimo, di antaranya Dinas Komunikasi dan Informatika, Dinas Pencatatan Sipil, dan Badan Keuangan Daerah.
“Mulai Selasa siang, mahasiswa eksodus yang pulang dari berbagai kota studi di luar Papua, juga diizinkan membuka pos komunikasi di kantor itu,” katanya.
Namun ketika malam harinya mereka menggelar rapat di kantor Dinas Kehutanan, sekitar pukul 9 malam, tiba-tiba api melahap kantor bupati. “Kami menduga kantor itu sengaja dibakar orang tidak dikenal. Kami kaget juga melihat kantor bupati terbakar,” kata Alfons.
Alfons menegaskan, ada oknum tidak bertanggung jawab yang memanfaatkan keberadaan para mahasiswa eksodus di sana.
“Pembakaran kantor lama Bupati Yalimo itu dilakukan oleh oknum tertentu. Jangan sampai orang lain menyangkut-pautkan kebakaran kantor itu, dengan keberadaan kami para mahasiswa eksodus. Kami tidak tahu-menahu tentang kebakaran itu,” tegasnya.
Salah seorang tokoh pemuda Yalimo, Linder Faluk mengatakan, ia mendengar kabar mengenai kebakaran kantor lama bupati, sejak pukul 9 malam. “Sampai saat ini belum jelas siapa pelakunya.”
Gubernur Papua ingin mahasiswa kembali kuliah
Gubernur Papua Lukas Enembe, sempat menemui mahasiswa yang ditahan di Mako Brimob Polda Papua, pada Selasa (24/9/2019). Selain itu, Enembe juga mengunjungi korban luka-luka baik dari pihak mahasiswa dan aparat keamanan, di Rumah Sakit (RS) Bhayangkara, Kota Jayapura.
“Saya berharap pelayanan kesehatan terhadap para korban luka tersebut, dapat dilakukan dengan baik sehingga para korban ini bisa lekas sembuh,” katanya.
Ia juga menganjurkan agar para mahasiswa kembali ke kota studi masing-masing, jika tidak Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua akan menghentikan beasiswa mereka.
“Saya akan hentikan beasiswa kalau mereka tidak mau dipulangkan ke kota studi. Memang ada yang dibiayai oleh orangtua mereka, dan ada juga dari pemerintah daerah. Tetapi kalau yang dibiayai oleh Pemprov akan kami hentikan,” katanya.
Enembe juga mengimbau, agar para mahasiswa eksodus yang berada di Papua tidak mengganggu ketertiban umum di Papua. “Anda datang dari kota studi ke sini, lalu melakukan tindakan anarkistis, itu tidak boleh,” tegasnya.
Ia berharap setelah massa aksi bentrok di Expo Waena dan kerusuhan di Wamena, tidak ada lagi aksi serupa di Provinsi Papua. “Karena aksi tersebut bukan hanya merugikan diri sendiri, tetapi juga merugikan orang lain.”
Terpisah Ketua Mahasiswa Eksodus Nduga, Otis Tabuni mengatakan, kepulangan mereka karena tidak ada lagi rasa aman dan nyaman saat berada di kota studi masing-masing.
“Sampai saat ini kami tidak nyaman berada di kota studi, karena kami mendapat intimidasi dan teror, baik di indekos atau kampus.” (*)
Laporan ini dibantu tim redaksi Jubi