Tinjauan hak asasi manusia PBB telah menimbulkan kekhawatiran serius mengenai kekerasan politik yang sedang berlangsung di Papua Barat.
Tinjauan Periodik Universal ke-41 Dewan Hak Asasi Manusia PBB mengangkat kekhawatiran mengenai pelanggaran hak asasi manusia di wilayah tersebut, dengan mengutip laporan mengenai meningkatnya kekerasan, pembunuhan di luar proses hukum, penghilangan paksa dan pembatasan terhadap pengamat independen dan media.
PBB memperbarui seruan untuk mencari akses ke Papua Barat
25 maret 2024
Tinjauan hak asasi manusia PBB telah menimbulkan kekhawatiran serius mengenai kekerasan politik yang sedang berlangsung di Papua Barat.
Tinjauan Periodik Universal ke-41 Dewan Hak Asasi Manusia PBB mengangkat kekhawatiran mengenai pelanggaran hak asasi manusia di wilayah tersebut, dengan mengutip laporan mengenai meningkatnya kekerasan, pembunuhan di luar proses hukum, penghilangan paksa dan pembatasan terhadap pengamat independen dan media.
Mereka merekomendasikan Jakarta menerima kunjungan Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia ke Papua Barat, dan melakukan penyelidikan terhadap pembunuhan di luar proses hukum dan pelanggaran hak asasi manusia di wilayah tersebut.
Menanggapi laporan tersebut, peneliti Human Rights Watch Andreas Harsono mengatakan Indonesia bersikap “defensif” dalam menanggapi kekhawatiran yang muncul mengenai Papua Barat dan berpendapat bahwa perlawanan bersenjata telah berlangsung sejak tahun 1960an.
“Hal ini tidak seharusnya melegitimasi penutupan Papua Barat dengan mempersulit pengamat PBB untuk berkunjung,” kata Harsono.
Ia menambahkan bahwa tindakan Indonesia terhadap perlawanan bersenjata di Papua Barat “berlebihan” dan pembagian wilayah tersebut menjadi lima provinsi akan menciptakan masalah baru dan bukan menyelesaikannya.
Harsono juga mengatakan alasan pemerintah mempertahankan hukuman mati “tidak memuaskan”.
“Namun, fakta bahwa menjatuhkan hukuman mati akan lebih sulit [di bawah revisi KUHP] masih merupakan sebuah langkah maju.”
“Tidak cukup, tapi setidaknya ada kesadaran bahwa penegak hukum bisa saja melakukan kesalahan,” ujarnya.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Hak Asasi Manusia Kementerian Luar Negeri Indonesia, Achsanul Habib, menegaskan bahwa Papua adalah bagian integral dari Indonesia menurut hukum internasional, dan wilayah tersebut menghadapi tantangan keamanan dari apa yang disebutnya sebagai kelompok separatis bersenjata.
“ Infrastruktur penting, pembangunan manusia, perdamaian dan keamanan terus dirusak oleh tindakan teroris yang dilakukan oleh kelompok-kelompok ini, yang telah meningkatkan serangan terhadap warga sipil dan infrastruktur penting sejak tahun 2018,” kata Habib.
Lebih banyak polisi dikerahkan ke wilayah tersebut setelah kerusuhan mematikan
Sementara itu, dua peleton personel Brigade Mobil (Brimob) Polri dikerahkan ke Dogiyal, Papua Tengah, untuk memperkuat aparat keamanan pasca kerusuhan.
“Dua peleton (personel) Brimob sudah berangkat dari Nabire untuk memperkuat aparat keamanan di Dogiyal,” kata Kapolsek Dogiyal Kompol Samuel Tariratu, Minggu.
Kerusuhan terjadi setelah sebuah truk menabrak dan menewaskan seorang anak berusia lima tahun, menyebabkan massa yang marah membakar dua truk, katanya saat dalam perjalanan ke Dogiya.
Massa juga membakar 82 rumah dan enam kantor termasuk Dinas Tenaga Kerja, Kantor Inspektorat Daerah, Kantor Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Kantor Lingkungan Hidup, dan Kantor Keuangan.
Kerusuhan tersebut juga mendorong warga setempat mengungsi di kantor polisi distrik dan pos komando militer distrik di Dogiyal, kata Tariratu.
Polisi mengkonfirmasi laporan orang hilang setelah kerusuhan.