[By:Kristian Griapon, Oktober 1, 2021].
Bentuk penyelesaian sengketa wilayah Papua Barat antara Pribumi Papua dengan Pemerintah Republik Indonesia adalah bentuk “Jasa Baik Politik Internasional”, sebagaimana yang dimediasi Negara-negara di kawasan Pasifik tertuang dalam isi Resolusi Pacific Island Forum (PIF) Tuvalu 2019 dan diperkuat Resolusi OACP Nairobi 2019, yang telah masuk dalam “Mekanisme Hak Asasi Manusia (HAM) PBB Prosedur Berdasarkan Negara, atau Tematik HAM PBB Prosedur Berdasarkan Negara”, tertuju langsung kepada Dewan HAM PBB dan kini telah berada pada posisi penyelesaian tingkat tinggi.
Dibawah Dewan HAM PBB, ada Internasional Cipil Service yaitu lembaga-lembaga PBB yang memonitoring kinerja Negara-negara di dunia atas tanggungjawab internasionalnya terhadap perlindungan HAM yang bersifat Universal dibawah kendali Kantor Komisi Tinggi untuk Hak Asasi Manusia (Office of the High Commissioner for Human Rights) dan Lembaga PBB lainnya yang membidangi program dan pendanaan PBB (UNDP, UNICEF, WFP,…).
Diatas Dewan HAM, yaitu Dewan Sosial dan Ekosob (ECOSOC) yang adalah jalan masuk (pintu) ke Sidang Umum PBB. Jadi semua laporan Hak Asasi Manusia yang masuk ke Dewan Ekonomi dan Sosial yang dilanjutkan ke Sidang Umum PBB diproses dan disiapkan melalui Kantor Komisi Tinggi untuk Hak Asasi Manusia PBB lembaga yang bertanggungjawab memonitoring berbagai kasus tindakan pelanggaran HAM Berat di seluruh dunia.
Indonesia telah memblokir atau menghalangi Komisioner Tinggi untuk Hak Asasi Manusia PBB ke Papua Barat guna memonitoring kinerja Indonesia sebagai Negara anggota PBB atas kewajiban internasionalnya terhadap Hukum Hak Asasi Manusia berdasarkan mandat resolusi PIF, dan OACP, sehingga jalan penyelesaian selanjutnya diserahkan kepada Sekjen PBB untuk mengambil keputusan teknis sesuai hukum internasional.
“Bentuk keputusan teknis bisa dua kemungkinan jika mencermati keputusan OACP Brussel 2021, yaitu Penegakkan Hukum dan Demokrasi”
Jika arahnya penegakkan hukum tindak lanjutnya ke Mahkamah Internasional (ICJ), maka majelis umum PBB akan meminta pendapat hukum (opinio juris) tentang keabsahan PEPERA 1969, apakah telah dilaksanakan sesuai klausula perjanjian yang ditandatangani serta diratifikasi Indonesia dan Belanda berdasarkan standar hukum internasional ? (arahnya referendum ulang). Dan jika arahnya Demokrasi, maka pilihannya Dewan Keamanan PBB (DK-PBB), maka DK-PBB akan menggunakan “Jasa Baik Teknis” yaitu menggunakan kewenangannya untuk membawa Indonesia dan Papua Barat ke meja konferensi, diluar Penyelesaian melalui referendum, yakni, ‘menuju pengakuan kedaulatan Papua Barat berdasarkan "Manifesto Politik Papua Barat 19 Oktober 1961, yang disahkan oleh Pemerintah Kerajaan Belanda pada, 1 Desember 1961".
Pada kondisi demikian, resolusi PBB 2504 tidak berlaku lagi, karena telah terjadi penyimpangan terhadap subtansi dari isi resolusi itu, yang mengakibatkan tindakan kejahatan terhadap kemanusian Penduduk Asli Papua diatas Wilayah Geografi Papua Barat, wasalam.(Kgr)
Penulis adalah Aktivis Pemerhati Masalah Papua Barat