Menguak Standing Position Konflik Papua
Mengawali tulisan ini, penulis hendak mengetengahkan sebuah hasil Analisis Konflik West Papua yang dirilis oleh Universitas Kaki Abu (UNIKAB) pada 24 Februari 2023 dengan Judul INTERNASIONALISASI VERSUS DOMESTIVIKASI PERSOALAN WEST PAPUA.
Analisis tersebut dibuat dalam rangka memberikan pencerahan publik terkait Legal Standing atau Standing Position status konflik atau persoalan West Papua itu dalam konteks percaturan politik global yang sudah pecah sejak Papua terintegrasi dalam kurun waktu 1947-1969.
Civitas UNIKAB hendak membeberkan fakta secara gamblang, ringkas, dan padat bahwa Persoalan West Papua itu sejatinya adalah masalah Internasional, bukan persoalan domestik/nasional, regional apalagi lokal. Berikut pemaparan ringkas terkait Hasil Analisis Konflik dari UNIKAB;
Kita tidak perlu berbelit-belit. Dua hal pokok pembahasan kita adalah Internasionalisasi versus Domestifikasi Persoalan West Papua.
Internasionalisasi
Baiklah kita mulai dengan Internasionalisasi Persoalan West Papua. Hal utama adalah bahwa Masalah West Papua adalah Masalah Internasional, karena melibatkan Aktor-aktor Negara Asing dan PBB sendiri:
Belanda, Amerika, Indonesia dan PBB adalah Aktor Utama konflik Sengketa Status Politik West Papua. Sebab, saat itu (1947-1969), merekalah yang terlihat aktif subjek hukum dan subjek politik dalam menentukan Nasib Bangsa Papua.
Oleh karena itulah Internasionalisasi Persoalan sangatlah penting untuk dikampanyekan dan didudukkan dalam forum-forum Internasional melalui sub kawasan MSG, PIF, ACP dan UN.
Domestifikasi
Di satu pihak, Indonesia berupaya mendomestifikasi persoalan West Papua sebagai masalah dalam negeri Indonesia. Dengan dalil bahwa West Papua sudah final di dalam bingkai NKRI. Sehingga seluruh konflik status politik dapat diselesaikan melalui mekanisme Politik, Hukum dan HAM NKRI. Oleh karena itulah tidak perlu lagi campur tangan asing, seperti MSG, PIF, ACP dan bahkan PBB.
Indonesia telah memberikan Otsus dan Pemekaran DOB sebagai Solusi atas persoalan West Papua. Indonesia akan berdalih bahwa
Pertama, Persoalan West Papua hanya Persoalan Kesejahteraan dan atau Kegagalan Pembangunan yang belum dirasakan oleh rakyat Papua.
Kedua, Konflik terjadi karena Pemilu, Perebutan Jabatan dan perang suku.
Internasionalisasi versus Domestifikasi
Saat ini, West Papua sedang berjuang untuk mendudukkan Persiapan West Papua sebagai Persoalan Internasional. Contohnya seperti:
Pertama, Melalui aksi TPNPB menempatkan kampanye Internasional Perjuangan West Papua.
Kedua, Melalui ULMWP langkah diplomatis di negara MSG, PIF, ACP, UE, UA dan UN sedang dikerjakan
Ketiga, Melalui aksi gerakan sipil menuntut Referendum dan Pengakuan Kemerdekaan West Papua; Aksi pengibaran bendera, demonstrasi dan lain-lain.
Untuk mengantisipasi Internasionalisasi ini upaya yang dilakukan Indonesia adalah: Memaksakan Otsus; Memaksakan Pemekaran DOB; Menjerat pejabat Papua pro rakyat dengan kasus-kasus korupsi; Menstigma TPNPB sebagai KKB dan Teroris; Menciptakan konflik horizontal
Beberapa hal di atas ini adalah upaya Indonesia untuk mendomestifikasi persoalan West Papua.
Merespons Raportase UNIKAB
Analisis Konflik sederhana tapi tajam dan menukik dari UNIKAB ini dibuat di tengah-tengah hingar-bingar Kasus Penyanderaan Pilot Philip Mark Marhtens asal Selandia Baru oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM), spesifikasinya TPNPB-OPM Kodap III Ndugama West Papua di bawah pimpinan Panglima Jenderal Egianus Kogoya pada Selasa, 07 Februari 2023 lalu.
Di tengah situasi dan kondisi yang menjadi konteks kajian ringkas UNIKAB di atas itu publik Papua bahkan dunia digegerkan bahwa sebenarnya Persoalan Papua itu adalah persoalan Internasional, bukan persoalan domestik NKRI, dan TPNPB-OPM itu adalah Anggkatan Bersenjata Resmi milik Organisasi Papua Merdeka yang adalah delegasi dan representasi negara bangsa Papua Barat.
Sehingga terlihat jelas dan terang benderang bahwa persoalan Papua itu adalah persoalan Internasional yang melibatkan aktor-aktor internasional sebagai pelaku konflik berkepanjangan di West Papua sejak serpihan emas di temukan oleh ekspedisi Dozy pada 1947 hingga detik ini, sementara bangsa dan seluruh alam ciptaan Papua adalah korbannya.
Menegasi Status Internasionalisasi Isu West Papua
Kita sudah cukup ringkas memahami intisari dari data analisis Konflik yang sudah ditelurkan oleh UNIKAB di atas, sekarang kita akan mencoba untuk menegaskan poin-poin tersebut;
Pertama, secara ringkas dan sepintas lalu UNIKAB membeberkan bahwa Persoalan West Papua adalah Persoalan Internasional karena melibatkan komunitas internasional seperti Belanda, Amerika, Indonesia dan PBB, bahkan Roma. Dengan demikian konsekuensi logisnya adalah persoalan Internasional mesti diselesaikan secara internasional pula.
Sehingga secara logis, rasional dan etis persoalan West Papua mesti diselesaikan secara internasional dengan, dalam dan melalui konsep dan mekanisme hukum internasional. Maka dari itu sangatlah penting untuk dikampanyekan dan didudukkan dalam forum-forum Internasional melalui sub kawasan MSG, PIF, ACP dan UN. Adalah sebuah kesalahan fatal kritis, pseudo hukum kronis, manipulatif, distorsif dan patologis di muka hukum dan komunitas internasional jika persoalan West Papua diselesaikan secara sektoral nasional atau dengan, dalam dan melalui konsep dan mekanisme hukum domestik Indonesia.
Kedua, civitas UNIKAB melalui rilis incinya ini pun hendak mengajak khalayak ramai agar sebelum jauh berbicara tentang Papua, hal ultim, fundamental, esensial dan subtansial yang mesti diketahui bersama adalah prihal status Politik Papua itu sendiri atau legal standing-nya, standing position-nya dalam bingkai hukum NKRI, yakni apakah Papua ini sebuah daerah administratif Provinsi atau sebuah daerah jajahan kolonial NKRI?
Hal ini dirasakan sangat penting agar kita tidak “salah konteks”, “salah parkir kepala”, “salah kaprah”, “salah lihat masalah”, “salah masuk kamar”, dan “salah takar resolusi” ketika berbicara tentang Papua, mengadvokasi masalah Papua, mengindetifikasi persoalan West Papua, memberikan masukan resolusi, dan lainnya.
Pendeknya sebelum mendiagnosis persoalan West Papua kita perlu memeriksa terlaluh dahulu kira-kira persoalan Papua itu termasuk kategori sakit apa dan apa treatment terbaiknya? Baik kaum intelektual, Agamawan, budayawan, aparat keamanan, dan masyarakat sipil lainnya sebelum berbicara, Diskusi, seminar, kuliah, sarasehan, lokakarya, dan Kegiatan interaktif lainnya yang berkaitan dengan Papua penting pertama-tama harus “meluruskan logika” dan “membentuk paradigma baru” bahwa Papua itu adalah sebuah daerah jajahan dalam bingkai kolonial NKRI. Sebab bukan rahasia baru lagi bahwa proses sejarah integrasi Papua itu terjadi secara cacat Hukum, Moral, HAM dan Demokrasi.
Hal ini menyebabkan Status Politik Papua dalam bingkai NKRI menjadi dipertanyakan dan memang wajib dipertanyakan apakah memang benar Papua ini adalah suatu daerah Provinsi atau sebuah Daerah Jajahan jika kita berkaca dari rentetan, evolusi, siklus, demografi dan metamorfosis kompleksitas, heterogenitas dan alteritas realitas konfrontasi konflik West Papua sejak 1947 hingga detik ini.
Maka secara jujur, objektif, terbuka dan adil bahwa status Politik Papua atau standing position West Papua dalam bingkai NKRI itu tidak lebih dan tidak kurang, serta tidak bukan adalah sebuah daerah jajahan, daerah koloni yang sudah, tengah dan terus dijajah oleh dan dari Neo-kapitalisme, Neo-Kalonialisme, Neo-Imperialisme, Neo-liberalisme dan Neo-Feodalisme NKRI, Belanda, Amerika Serikat, PBB, Roma dan pelbagai komunitas internasional lainnya yang selama ini bersekutu dengan NKRI untuk menjajah bangsa dan tanah West Papua.
Termasuk terakhir disinyalir bahwa negara Selandia Baru adalah salah satu negara di kawasan Pasifik yang sejak beberapa tahun lalu membantu Indonesia di bidang keamanan dan pertahanan dalam bentuk memberikan pelatihan militer kepada TNI-Polri dan memfasilitasi ambisi senjata yang pada akhirnya implikasi dari bantuan itu berdampak pada rentetan konflik senjata di Papua sejak beberapa tahun belakangan ini yang juga berdampak pada pelanggaran HAM berat, pengunsian massal, pembunuhan warga sipil, penangkapan aktivis HAM, pemerkosaan, penghilangan dan penculikan, serta ragam potret penindasan ala kolonialisme lainnya.
Menyikapi Treatment Domestifikasi Isu West Papua
Kita sudah secara cukup ringkas melihat hakekat dan eksistensi persoalan West Papua sebagai sebuah Daerah Jajahan. Bahwa secara historis, aktual dan objektif standing position West Papua dan segudang problematika dan tragedinya adalah bukan soal dalam kerangka sebuah daerah administrasi Provinsi.
Papua adalah sebuah Daerah Koloni, bukan Provinsi, kurang lebih demikian, ini sebuah fakta hukum, dan realita politik hukum Papua di hadapan kontitusi internasional.
Sudah barang tentu sebagai pelaku, Indonesia dan sejawat kolonialnya tidak mau mau aib politiknya diketahui dan dicium oleh konstitusi internasional, maka langkah konkretnya adalah menutup-nutupi persoalan West Papua agar tidak sampai menjadi isu internasional.
Bahwa internasionalisasi isu West Papua adalah sebuah langkah politik yang sangat ditakuti oleh Otoritas sistem kolonial NKRI dan sekutunya.
Maka sudah sejak pasca integrasi pendekatan Jakarta ke Papua adalah pendekatan domestivikasi dan nasionalisasi. Papua dijadikan sebagai salah satu Provinsi, agar dengan begitu mata dunia akan terlabui bahwa Papua adalah bagian internal dan integral dari teritoria administrasi politik NKRI.
UNIKAB dalam reportase singkatnya di muka sudah cukup baik memberikan gambaran unek-unek treatment NKRI dalam rangka mendomestivikasi dan menasionalisasi persoalan West Papua;
Pertama, Bahwa Persoalan West Papua hanya Persoalan Kesejahteraan dan atau Kegagalan Pembangunan yang belum dirasakan oleh rakyat Papua, sehingga logika pendekatannya adalah pendekatan kesejahteraan, ekonomi, pembangunan (jalan, infrastruktur, Pelabuhan, Bandara, Jaringan, dan lain sebagainya).
Dari Presiden Pertama Soekarno-Hatta yang dikenal dengan Era Orde Lama hingga di era Jokowi jilid II ini pola, metode, strategi, trik, intrik dan treatmen Jakarta atas persoalan West Papua hanya itu-itu saja, seputaran “Bab 1” saja, yakni Pendekatan Pragmatis Hedonistis, Rasis, Fasis, Represif Militerisme.
Bahwa selama berintegrasi secara cacat ke dalam bingkai sistem kolonial NKRI dan sekutunya selama kurang lebih 60-an tahun pendekatan yang diberikan ke Papua oleh pusat tidak pernah menjawab inti persoalan, tidak pernah “tepat sasar” dan “kena konteks” subtansi dan esensi persoalan West Papua.
Bahwa melalui semunya itu negara hanya berusaha menutup-nutupi realitas konfrontasi konflik Papua sebagai persoalan Politik dan Hukum Internasional yang membutuhkan terapi konstitusi dan instansi otoritas internasional.
Kedua, Karena masalah Papua adalah masalah domestik atau nasional, maka negara memainkan isu, wacana dan provokasi bahwa Konflik West Papua itu terjadi karena Uang, Jabatan (Harta dan Tahta), Pemilu, Perebutan Jabatan, perang suku, pembunuhan, pembakaran, penculikan, sabotase lahan, dualisme kepemimpinan (kepentingan, kekuasaan dan keuangan), kolusi, nepotisme, korupsi, dan pelbagai kasus sektoral dan konflik horizontal lainnya.
Jadi bukan sama sekali karena status politik, idelogi nasionalisme dan patriotisme Papua Merdeka, distorsi sejarah integrasi, Ragam Pelanggaran HAM Berat, dan lainnya.
Negara juga Memaksakan Otsus; Memaksakan Pemekaran DOB; Menjerat pejabat Papua pro rakyat dengan kasus-kasus korupsi; Menstigma TPNPB sebagai KKB, KKSB, Separatis dan Teroris; Menciptakan konflik horizontal; Papua dengan Papua, Papua dengan Non-Papua.
Kita jangan salah bahwa negara sedang memproduksi sebuah “Bara Konflik” yang pada kemudian hari akan mereka ledakan di Papua sebagai “Bom Waktu” di West Papua, yakni Konflik Horizontal.
Memori dan emosi kolektif warga Non-Papua akibat tindakan anarkistis pasca Rasisme di Surabaya pada 2019 di Jayapura dan Wamena di mana hampir semua warga pendatang kehilangan pendatang dan fasilitas penyambung hidupnya, mereka juga harus mengungsi dari beberapa daerah konflik seperti di Wamena; Intan Jaya; Oksibil; Maybrat; Ndugama, Puncak Jaya; Yahukimo; Dogiyai; Deiyai; Mapia dan lainnya.
Penulis melihat suatu saat dan tempo yang tidak terlalu lama jika fakta pemeliharaan bara konflik ini segera tidak didialogkan dan direkonsiliasikan dengan semangat toleransi dan humanisme yang universal dan asali maka jangan kita heran juga kedepannya warga Non-Papua agar bersatu padu dalam komando TNI-Polri untuk menyisir semua orang asli Papua yang mendiami bumi cendrawasih.
Hal ini adalah suatu strategi manajemen konflik yang terjadi cukup underground atau terselubung di tanah, ibarat luka parah yang tidak infeksi keluar tetapi ke dalam, sehingga suatu saat ia akan keluar menunjukkan eksistensinya.
Ketiga, Negara juga lantaran alergi, sensitif dan takut dengan demonstrasi dan kampanye internasionalisasi persoalan status Politik dan Pelanggaran HAM Berat, bahkan isu Genosida, Ekosida, Etnosida dan Spiritsida di West Papua maka akses kunjungan komunitas asing ke West Papua sudah sangat dilarang, terutama Kunjungan dari Jurnalis Independen Asing dan Mahkamah Konstitusi Internasional atau Dewan Komisioner HAM PBB.
Hal ini secara gamblang sebenarnya sudah menunjukkan bahwa negara Indonesia memang bukan negara Hukum, demokrasi, Pancasila, Gentle, Modern dan Anggota PBB yang baik yang notabene telah meratifikasi semua piagam PBB ke dalam kitab konstitusi dasar negaranya.
Kenapa NKRI larangan kunjungan komunitas asing ke teritoria West Papua? Kenapa NKRI batasi kunjungan komunitas kemanusiaan dan jurnalis independen Asing ke West Papua? Kenapa negara batasi akses kunjungan Komisioner Tinggi Dewan HAM PBB ke West Papua?
Di mana rasa, wibawa dan marwah internasionalisasi, Globalisasi, Modernisasi dan Demokratisasi bangsa dan negara Indonesia dalam semangat Keadilan, Kebenaran, Dialog, Rekonsiliasi, HAM, Demokrasi dan Perdamaian Dunia?
Beberapa Pokok Penegasan
Mengakhiri tulisan ini, maka penulis melihat dan merefleksikan ada beberapa langkah strategis yang bisa diperhatikan dan ditempuh bersama dalam rangka menciptakan Papua sebagai Tanah Damai;
Pertama, Harus ada kejujuran, kepercayaan dan kebesaran hati, jiwa dan akal budi dari penguasa sistem kolonial NKRI dan sekutunya bahwa Papua bukan sebuah Provinsi, tetapi sebuah Daerah Koloni, Daerah Jajahan, Bangsa Budak.
Bahwa Persoalan Status Politik, Pelanggaran HAM, dan Kerusakan Ekologi West Papua adalah manifestasi konkrit dari Persoalan Internasional yang membutuhkan treatment dan terapi Konsep dan mekanisme otoritas konstitusi dan instansi internasional (PBB) baik di bidang Hukum, HAM, Ekologi, Demokrasi dan Status Politik.
Kedua, Treatment, Terapi, Strategi dan Metode Jakarta atas Papua mesti didekonstrusksi ulang sebab tidak pernah “Kena Konteks”, yang ada hanyalah “Salah Konteks”, “Salah Kamar” dan “Salah Orang”.
Mengapa demikian? Sebab Persoalan West Papua bukan persoalan domestik dan nasional, melainkan persoalan Internasional, sehingga pola pendekatan resolusi konfliknya juga mesti memakai dan berbasis logika serta paradigma etika Hukum internasional.
Ketiga, Fenomena Kasus Penyanderaan Pilot Philip Mark Marhtens adalah momentum berharga bagi NKRI untuk tampil di muka hukum dan komunitas internasional sebagai negara yang berbadan hukum, berkonstitusi, berlandaskan Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, negara yang berwibawa dan modern dengan menerima tawaran politik dari Panglima Jenderal Egianus Kogoya untuk memberikan Hak Penentuan Nasib Sendiri Bagi Bangsa West Papua di panggung politik internasional.
Penulis melihat hanya dengan jalan begin Indonesia akan menjadi “Mantan Terindah” dalam sejarah peradaban bangsa West Papua. Indonesia akan dikenang sebagai “Luka Lama” yang mengesankan dalam nubari bangsa West Papua. Mari Torang Bicara Dulu di Para-Para Adat Internasional.
Sumber: NALARPOlitik