Jayapura, Jubi – Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian, dan Pengembangan Bantuan Hukum atau LP3BH Manokwari, Papua Barat, Yan Christian Warinussy mengatakan pemerintahan Joko Widodo mesti belajar dari pertemuan Tim 100 dan Presiden BJ Habibie pada 22 tahun silam. Dialog itu merupakan momentum saat pemerintah pusat mendengarkan aspirasi orang Papua.
Warinussy menyebut pertemuan pada 26 Februari 1999 itu merupakan sejarah dialog nasional antara pemerintah pusat dan orang Papua. “Itulah titik awal dimulainya meletakkan aspirasi rakyat Papua untuk disikapi secara bijak, dan penuh kepentingan politik negara,” kata Warinussy melalui keterangan tertulis yang diterima Jubi, Sabtu (27/3/2021).
Warinussy menyatakan kebijakan Otonomi Khusus atau Otsus Papua yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua merupakan salah satu hasil dari pertemuan Tim 100 dengan Habibie. Ia juga menyebut bahwa integritas nasional Indonesia menjadi alasan utama lahirnya kebijakan Otsus Papua.
Ia menekankan penyelesaian konflik bersenjata antara TNI/Polri dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat/Organisasi Papua Merdeka (TPNPB/OPM) seharusnya diselesaikan melalui meja perundingan melalu dialog yang setara dan inklusif. “Tidak bisa diselesaikan terus menerus dengan pendekatan keamanan, dengan mengerahkan personil militer ke Tanah Papua,” ujarnya.
Warinussy berpendapat, eksistensi Negara Republik Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) akan senantiasa menjadi taruhan. Pengabaian masalah Papua oleh pemerintah pusat membuat para diplomat Indonesia mesti bekerja keras meyakinkan dunia.
Dengan analisanya itu, Warinussy menilai pemberian label teroris kepada TPNPB/OPM tidak akan menyelesaikan masalah Papua. Apalagi, TPNPB/OPM tidak serta merta dapat dikategorikan sebagai kelompok teroris, sebab TPNPB merupakan sayap militer kelompok yang memperjuangkan kemerdekaan atau kesempatan menentukan nasib sendiri bagi orang asli Papua.
“Marilah dengan jujur, Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi memulai persiapan berdialog atau berunding dengan TPNPB/OPM, bersama berbagai komunitas sipil di Tanah Papua,” ucapnya.
Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof Dr Cahyo Pamungkas kepada Jubi belum lama ini mengatakan, pendekatan keamanan hanya akan menambah jatuhnya korban. Korban konflik Papua bukan hanya dari pihak aparat keamanan atau TPNPB, melainkan juga dari pihak warag sipil.
Cahyo mengingatkan konflik bersenjata itu akan membentuk ingatan kolektif penderitaan orang Papua. “Ketidakpercayaan rakyat Papua kepada pemerintah akan semakin meningkat. Kalau sudah seperti itu, harapan berdialog akan menjadi tipis,” kata Cahyo ketika itu.
Menurutnya, situasi itu justru semakin meningkatkan perlawanan orang Papua terhadap pemerintah. “Masalah Papua tidak bisa diselesaikan dengan senjata, karena latar belakang konflik Papua berbeda dengan konflik lain. Di sini ada persoalan identitas politik yang belum selesai,” ujarnya. (*)
Editor: Aryo Wisanggeni G