~Jejak Kehidupan~: Otonomi Khusus Papua dan Tuntutan Referendum
Otonomi Khusus Papua telah di anggap gagal. 18 Juni 2010 lalu sekitar 8000-an masa rakyat Papua mendatangi kantor DPR Papua, menyatakan tekad mereka untuk mengembalikan Otonomi Khusus kepada pemerintah pusat, sekaligus menuntut referendum.
Pada tanggal 12 Agustus tahun 2005, Dewan Adat Papua (DAP) bersama hampir 10.000 ribu masa rakyat Papua pernah menyatakan sikap yang sama, yakni; mengembalikan UU Otsus kepada pemerintah pusat karena dianggap gagal. Saat itu tampak peti mati kegagalan Otsus di usung sambil long march sejauh 20 KM dari Kantor MRP menuju kantor DPR Papua. Mereka memberikan peti mati Otsus kepada DPR Papua untuk di teruskan sampai ke Jakarta.
Setelah UU Otsus di kembalikan, kenyataannya Otsus masih bergulir di tanah Papua. Menjadi pertanyaan, apanya yang di kembalikan saat itu? Dan beberapa hari lalu kembali lagi masa rakyat Papua bersama Majelis Rakyat Papua (MRP) dengan tekad yang bulat, yakni; mengembalikan Otsus dan menuntut referendum.
Rakyat Papua mengembalikan Otsus dan menuntut referendum karena di sinyalir pemerintah pusat tidak serius dalam menjalankan amanat Otsus, di antaranya SK MRP No.14 Tahun 2009 tentang kepala daerah dan wakila kepala daerah orang asli Papua yang tidak di akomodir oleh pemerintah pusat.
Menjadi pertanyaan, apakah harga referendum sebanding dengan sebuah SK MRP No.14 itu? Dan jika saja SK MRP No. 14 ini diakomodir oleh pemerintah pusat, berarti tuntutan referendum tidak akan nampak lagi?
Kehadiran Otsus
Kehadiran UU Otsus bermula dari tuntutan rakyat Papua yang meminta untuk memisahkan diri NKRI. Tuntutan seperi ini telah ada sejak tahun 1969 dan sebelum Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969 di langsungkan.
Rakyat Papua beranggapan bahwa UU Otsus yang diberikan hanyalah bentuk “akal-akalan” agar meredam tuntutan referendum yang di degungkan orang Papua. Mungkin kita telah mengetahuinya, berkisar tahun 1988-2001 tuntutan untuk memisahkan diri semakin nampak ke permukaan. Theys Hiyo Eluay (Alm) dan Presidium Dewan Papua (PDP) saat itu menjadi “bodyguard” yang layaknya akan menjawab masa depan orang asli Papua.
Kehadiran Otsus juga terlihat dari tuntutan masyarakat Papua untuk sebuah perubahan hidup yang lebih baik lagi. Dimana pendidikan bisa di perhatikan, kesehatan bisa teratasi dan ekonomi di Papua dapat menyentuh sampai kepada rakyat kecil.
Moment terpenting dalam tahun 2001 adalah dengan kehadiran Otsus. Mantan Presiden Indonesia, Megawati Soekarno Putri menandatangani Otsus bagi Provinsi Papua di Istana Negara kala itu, 21 September Tahun 2001. UU Otsus sendiri berjalan normal mulai awal tahun 2002 di tanah Papua.
Seharusnya kehadiran Otsus di tanah Papua di barengi dengan pembentukan lembaga kultural orang asli Papua, yakni; Majelis Rakyat Papua (MRP), namun yang membingunkan, lembaga ini hadir 4 tahun setelah Otsus di berikan. Salah satu ketidakseriusaan pemerintah pusat untuk membangun Papua dan menjalankan amanat Otsus terlihat disini.
Dan ada pula yang mengatakan bahwa kehadiran Otsus hanya akan menimbulkan sebuah penjajah baru di Papua. Pernyataan ini mungkin bisa di benarkan, dimana kepentingan negara-negara barat selalu saja ada di tanah Papua, diantaranya dengan keseriusaan pemerintah pusat yang selalu menghadirkan perusahan Multi-nasional. Orang Papua marah karena kekayaan alamnya selalu di keruk untuk membiayai negara luar dan pemerintah pusat, sedangkan kehidupan mereka tetap saja terpuruk. Iini yang rakyat Papua sebut dengan penjajahan baru di tanah Papua.
Walau terdapat beragam spekulasi tentang UU Otsus, namun sampai saat ini keberadaan Otsus sendiri telah legal, dan telah di terima oleh masyarakat umum. Walau sampai saat ini suara untuk meminta referendum masih tetap didegungkan.
Otsus Solusi Terakhir?
Mantan Presiden Republik Indonesia, Megawati Soekarno Putri saat menerima Gubernur Papua, (Alm) J.P. Salossa dan rombongan Panitia Pembentukan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua di Istana Negara kala itu menyatakan bahwa Otsus adalah solusi terakhir untuk menyelesaikan konflik di Papua.
Presiden RI saat ini, DR. Susilo Bambang Yudhoyono juga mendengungkan pernyataan yang sama. Bahwa Otsus adalah jalan terakhir yang harus dipikirkan bersama untuk memberikan kesejahteraan dan pembangunan bagi rakyat Papua.
“Kita harus menjadi bagian dari solusi, bukan masalah. Di dalam rumah tangga selalu ada masalah, tapi pasti ada solusinya. Ada sejumlah isu yang harus kita letakan secara tepat dan menyelesaikan dengan bijak dalam semangat kepentingan bersama, dan Otonomi Khusus sebagai pilihan kita untuk mengelolah Papua dengan lebih baik,” kata Presiden SBY sebelum pertemuan di Istana Negara bersama 29 Tokoh Adat dan DPRP Papua kala itu.
Tepat apa yang dikatakan kedua petinggi negara diatas, bahwa UU Otsus akan menjadi sebuah solusi bagi rakyat Papua. UU Otsus akan jadi solusi untuk rakyat Papua jika saja Jakarta konsisten dan serius menjalankan Otsus. Tetapi jika tidak, manfaat apa yang orang Papua bisa rasakan? Malahan kekecewaan yang orang Papua terima dengan kehadiran Otsus.
Pemerintah Pusat Tidak Serius
Yang menjadi persoalan besar saat ini adalah pemerintah pusat tidak pernah konsisten dan serius menjalankan amanat UU Otsus di tanah Papua. Sudah tentu kepercayaan publik terhadap itikad baik pemerintah menjalankan Otsus di Papua akan menurun drastis.
Hal ini juga yang melahirkan tuntutan referendum semakin nampak. Buktinya, lembaga yang di bentuk negara (DPRP dan MRP) juga telah menyatakan sikapnya untuk mendukung referendum bagi rakyat Papua. Pemerintah pusat tidak bisa menyalahkan kedua lembaga ini jika mereka memberikan dukugannya. Pemerintah pusat tidak pernah mempunyai “hati” untuk membangun Papua ini yang sering di simpulkan rakyat Papua.
Saat memberikan tanggapan kepada massa yang datang mengembalikan Otsus dan menuntut referendum, DPRP telah menyatakan sikap bahwa referendum adalah solusi atau jalan akhir bagi rakyat Papua. Dewan setuju dengan pernyataan rakyat Papua bahwa Jakarta selama ini tidak pernah serius untuk menjalankan Otsus dan menyelesaikan masalah di Papua.
Lainnya halnya dengan MRP, beberapa hari sebelum menyatakan sikap untuk mengembalikan Otsus dan menuntut referendum, MRP telah menggelar Musyawarah Besar (Mubes) dengan mengundang masyarakat adat yang berada di tujuh wilayah adat. Semua tokoh-tokoh adat yang tersebar dari Sorong sampai Samarai menyampaikan sikapnya kepada MRP.
Hasil musyawarah besar yang di gelar MRP itu-lah yang di ringkas menjadi beberapa tuntutan, di antaranya mengembalikan Otsus dari Papua dan segera memberikan referendum. Ini sekiranya merupakan sebuah tuntutan, bentuk ketidakpuasaan dan kekecewaan rakyat Papua terhadap negara Indonesia yang tidak pernah serius membangun tanah Papua.
Penutup
UU No 21 tahun 2001 telah di anggap gagal. Tuntutan berikutnya adalah segera memberikan referendum bagi rakyat Papua. Apa tanggapan pemerintah pusat terhadap tuntutan ini? Otsus bukan sebuah solusi lagi di tanah Papua, tetapi telah menjadi masalah dan telah menimbulkan masalah di tanah Papua.
Beberapa tahun belakangan tuntutan untuk mengembalikan Otsus dan menuntut referendum hanya di teriakaan oleh kalangan yang kontra terhadap integrasi, tetapi saat ini tidak demikian, justru kalangan yang selama ini pro kepada integrasi dan duduk di birokrasi pemerintahan-lah yang telah memberikan dukungan untuk menuntut referendum bagi rakyat Papua.
Tetapi nampaknya kita perlu berpikir ulang, apakah harga sebuah referendum dapat lunas di bayak jika SK MRP No.14 Tahun 2009 di akomodir oleh pemerintah pusat? Apakah ketika pemerintah pusat serius dan konsisten menjalankan amanat UU Otsus? Atau apakah ketika kalangan elit yang duduk manis di birokrasi pemerintah Papua merasakan nikmatnya dana Otsus?
Kita boleh menggebu-gebu meneriakaan yel-yel merdeka, sembari mengembalikan Otsus kepada pemerintah pusat. Tetapi di sisi lain, kita perlu berpikir ulang, jika dalam waktu dekat pemerintah pusat mengakomodir SK MRP No.14 ini? Apa respon dan tanggapan kita berikutnya.
Itupula yang ingin disampaikan dalam tulisan ini, bahwa harga dari pada referendum tidak sebanding dengan SK MRP No.14, bahkan UU Otsus sekalipun, karena lebih terinci sudah tentu SK MRP No.14 ini akan berbicara untuk pemenuhan kepentingan para elit-elit politik lokal di tanah Papua, bukan untuk kepentingan rakyat asli Papua yang hidup terlantar.