Tahun lalu, berbagai bentuk aksi dan protes menandai 50 tahun peringatan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) di Papua Barat, yang mengukuhkan kekuasaan Indonesia atas Papua Barat.
Pada Januari 2019, aktivis Papua Barat menyampaikan petisi menuntut diadakannya referendum untuk kemerdekaan Papua Barat kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Enam bulan kemudian, aksi protes terjadi menyusul penahanan 43 mahasiswa Papua Barat di Surabaya, Jawa Timur. Rekaman penangkapan menunjukkan tindakan rasis para polisi dalam penangkapan tersebut.
Setelah kejadian itu, semakin banyak pengunjuk rasa terjun ke jalan , menuntut dihentikannya perlakuan diskriminasi terhadap warga Papua Barat. Mereka juga meminta diadakan referendum ulang agar mereka bisa merdeka.
Berbagai aksi protes tersebut merupakan bagian dari sejarah panjang aktivis Papua yang berjuang untuk kemerdekaan Papua.
Sejak 1960, aktivis Papua Barat menuntut hak mereka untuk merdeka, dengan menggunakan Deklarasi Dekolonisasi PBB tahun 1960, sejak Belanda mundur dari Indonesia.
Namun, mereka selalu gagal.
Riset saya yang baru terbit menunjukkan bahwa salah satu penyebab kegagalan tersebut adalah terjadinya perubahan dalam politik internasional yang berhasil menyabotase upaya Papua Barat untuk merdeka dengan menunggangi gerakan anti kolonialisme yang dilakukan negara-negara Asia dan Afrika selama tahun 1940-1960-an.
Mengapa Papua Barat gagal di forum internasional
Pada 1960-an, aktivis Papua Barat mencoba bergabung dengan gerakan kemerdekaan yang dimotori oleh negara-negara Asia dan Afrika. Dipicu oleh kondisi yang tidak stabil seusai masa perang, negara-negara yang dijajah di Asia dan Afrika bersatu untuk mengakhiri kolonialisme.
Di PBB, aktivis Papua Barat mencari dukungan dari delegasi Afrika yang mereka percayai adalah sekutu mereka. Mereka berpendapat Papua Barat dan Afrika mempunyai sejarah dan keinginan yang sama untuk mengakhiri segala praktik kolonialisme.
Meskipun para pemimpin Afrika bersimpati pada perjuangan aktivis Papua Barat, mereka sudah terlanjur berkomitmen pada Gerakan Non-Blok yang dipimpin oleh Indonesia.
Gerakan Non-Blok ini adalah bentuk solidaritas negara-negara Afrika dan Asia untuk tidak mencampuri urusan negara lain. Bentuk solidaritas ini melindungi mereka dari intervensi negara-negara Eropa yang menjajah mereka, serta Perang Dingin yang berlangsung karena mereka tidak memihak Amerika Serikat ataupun Uni Soviet.
Namun, tidak seperti namanya, Gerakan Non-Blok ini juga tidak menganjurkan negara-negara anggotanya untuk keluar dari kemelut Perang Dingin. Beberapa dari mereka malah menggunakan gerakan ini untuk mengeksploitasi ketegangan Perang Dingin untuk kepentingan mereka.
Sebagai contoh, Indonesia. Negara ini membuat kesepakatan dengan Amerika Serikat dan memberi negara adikuasa tersebut akses ke tambang emas dan tembaga. Mereka juga menolak bantuan Soviet lalu menggunakan Gerakan Non-Blok untuk mengumpulkan dukungan atas kekuasaan Indonesia di Papua Barat.
Jika Perang Dingin memberi peluang bagi negara-negara yang bergabung pada aliansi internasional yang kuat, bagi Papua Barat, yang dianggap sebagai pendatang baru di kancah politik internasional ketika itu, maka hal tersebut adalah sebuah hambatan.
Aliansi negara-negara Asia Afrika semakin menguat dan kepemimpinan Indonesia dalam gerakan itu menutup kemungkinan Papua Barat untuk bergabung. Saat aktivis Papua Barat masuk ke dalam arena politik internasional pada 1960, Indonesia sudah mengembangkan strategi Perang Dinginnya.
Sendiri, terisolasi dan terus ditekan
Papua Barat tidak bisa merdeka karena sistem PBB gagal dalam menanggapi tuntutan mereka dan justru memenuhi tuntutan Indonesia meskipun itu melanggar komitmen PBB untuk melindungi hak asasi manusia dan menjamin kemerdekaaan setiap bangsa.
Setelah dipimpin sementara oleh PBB, Belanda dan Indonesia menandatangani perjanjian untuk menyerahkan Papua Barat ke Indonesia pada 1962. Perjanjian tersebut mencakup ketentuan yang mewajibkan Indonesia untuk berkonsultasi dengan penduduk Papua Barat, apakah mereka ingin tetap menjadi bagian dari republik Indonesia atau tidak.
PBB pun tidak diikutsertakan dalam pemungutan suara. Akibatnya, Indonesia [sengaja memilih hanya lebih dari 1.000 orang untuk menentukan nasib Papua Barat]. Di bawah sistem yang curang tersebut, tak heran Papua Barat resmi menjadi bagian dari Indonesia.
Dalam Sidang Umum PBB yang diadakan untuk mengesahkan hasil pemilihan tersebut, banyak perwakilan Afrika yang menolak hasil PEPERA karena dianggap berlawanan dengan prinsip PBB tentang kemerdekaan.
Mereka menunjukkan kemunafikan Gerakan Non-Blok yang didirikan untuk mengakhiri kolonialisme tapi justru memperbolehkan Indonesia untuk mendirikan pemerintahan bergaya kolonial di Papua Barat. Meskipun dalam perdebatan ini, tidak ada delegasi yang memilih untuk melawan Indonesia.
PBB akhirnya sepakat untuk menerima hasil PEPERA, dengan 84 suara lawan 0 suara dengan 30 abstain.
Meskipun orang-orang Papua Barat telah meyakinkan para pemimpin Afrika akan perlakuan tidak adil dari Indonesia dan keinginan mereka untuk merdeka, para wakil Afrika tidak berani melawan Indonesia dan merusak aliansi Gerakan Non-Blok. Menurut mereka, melawan Indonesia akan membahayakan kedudukan politik dan perlindungan negara Afrika di komunitas internasional. Oleh karena itu, para delegasi Afrika memilih untuk abstain.
Akankah Papua Barat memiliki kesempatan lain?
Beberapa hal sudah berubah dalam kancah politik internasional sejak 1960. Perubahan ini termasuk meningkatnya jumlah anggota dari negara-negara daerah Pasifik dan adanya pengakuan terhadap hak-hak bagi pribumi.
Namun, sikap PBB yang lebih mengutamakan kedaulatan sebuah bangsa dari pada nilai-nilai keadilan dan persamaan hak tetaplah sama.
Kesempatan para aktivis Papua Barat untuk memperoleh dukungan terhadap referendum akan bergantung pada kemampuan mereka untuk mengubah komposisi politik di PBB.
Aktivis Papua Barat saat ini telah mendapatkan dukungan dari para pemimpin Pasifik. Mereka juga sudah berhasil melobi para pejabat Inggris. Namun, mereka masih perlu mendapatkan dukungan yang signifikan dari delegasi Afrika dan Asia untuk mendapatkan keinginan mereka.
Belajar dari apa yang terjadi pada 1969, para pemimpin dunia sebaiknya mendengarkan suara-suara aktivis Papua karena ketika mereka memilih untuk tidak memenuhi tuntutan mereka maka masyarakat Papua Barat di Indonesia akan berhadapan dengan konsekuensi yang mengerikan.
Seperti yang diucapkan Organisasi Perburuhan Internasional, ‘Jika Anda menginginkan perdamaian, tanamkan keadilan’.
Nashya Tamara menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris_