Jayapura, Jubi – Direktur Lembaga Bantuan Hukum Papua, Emanuel Gobay mengatakan Indonesia sudah merampas tanah masyarakat adat di Papua sejak lama, bahkan sebelum Penentuan Pendapat Rakyat atau Pepera 1969 dilaksanakan. Pada 7 April 1967, Indonesia dan Freeport Sulphur of Delaware menandatangani Kontrak Karya penambangan emas, perak, dan tembaga di lokasi yang saat ini menjadi areal tambang PT Freeport Indonesia.
Hal itu dinyatakan Gobay selaku pembicara dalam diskusi daring “Kekerasan, Rasisme, dan Persoalan HAM di Papua” yang diselenggarakan Badan Eksekutif Mahasiswa Pemerintahan Mahasiswa (BEM PM) Universitas Udayana pada Rabu (4/8/2021). Ia menjelaskan lokasi tambang yang diperjanjikan Indonesia dan Freeport Sulphur of Delawar itu merupakan hak ulayat Suku Amungme dan Suku Kamoro di wilayah yang saat ini menjadi Kabupaten Mimika, Papua.
Kontrak karya itu dibuat Indonesia dan Freeport Sulphur of Delawar tanpa melibatkan Suku Amungme dan Suku Kamoro sebagai pemilik hak ulayat kawasan itu. “Jadi pemerintah Indonesia melakukan perampasan tanah adat di Mimika untuk mengelola tambang Freeport sebelum pelaksanaan Pepera,”kata Gobay.
Baca juga: Mahasiswa harus melawan rasialisme terhadap orang Papua
Gobay menekankan keberadaan Indonesia di Papua pada 1967 hanya didasarkan Perjanjian New York antara Amerika Serikat, Indonesia, dan Belanda pada 1962. Perjanjian itu kemudian diikuti dengan pengalihan pendudukan Papua dari Belanda kepada Indonesia pada 1963.
“Indonesia untuk memberlakukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Kemudian Indonesia menandatangani Kontrak Karya Freeport pada tanggal 7 April 1967,”katanya.
Gobay menyatakan langkah Indonesia mengabaikan hak ulayat masyarakat adat di Papua itu tidak konsisten dengan keberadaan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA). Ia menekankan bahwa UUPA jelas mengakui keberadaan masyarakat adat dan hak ulayat masyarakat adat. “Tapi pemerintah Indonesia melakukan Kontra Karya dengan Freeport tanpa melibatkan orang Papua,” kata Gobay.
Baca juga: Rasialisme terhadap orang Papua dilakukan aparat negara maupun warga
Gobay mengatakan perampasan tanah secara sistematis dan terukur dilakukan pemerintah Indonesia pada tahun 1967, dua tahun sebelum Pepera 1969 dilaksanakan. “Artinya kekerasan sudah terjadi saat itu,” kata Gobay.
Gobay mengatakan kekerasan aparatur negara terhadap masyarakat adat di Papua pun berlanjut, seiring upaya Indonesia menguasai sumber daya alam dan wilayah di Papua. Hal itu terlihat seperti proyek transmigrasi yang besar besaran. “Proyek transmigrasi ke Tanah Papua secara besar-besaran juga turut merampas tanah masyarakat adat,” ujarnya.
Pemerintah Indonesia juga terus menerbitkan sertifikat Hak Atas Tanah di Papua, termasuk menerbitkan Sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) bagi PTPN II di Prafi, Manokwari dan Arso, Keerom. Proses izin tambang LNG Tangguh yang dikelola British Petroleum (BP) pada 2003 juga tidak melibatkan masyarakat adat di Teluk Bintuni.
Baca juga: Menginjak kepala dan pandemi rasisme yang belum berujung
“Kebijakan pemerintah Indonesia itu juga dibuat tanpa sepengetahuan masyarakat adat, dan bagian dari perampasan tanah adat yang dilakukan Pemerintah Indonesia. Pemberian HGU maupun Hak Pengusahaan Hutan atau HPH kepada banyak perusahaan [juga tidak melibatkan masyarakat adat]. Izin Usaha Pertambangan Blok Wabu di Kabupaten Intan Jaya bagi Inalum juga [tidak melibatkan masyarakat adat]. Fakta di atas merupakan jejak perampasan tanah yang diambil oleh pemerintah Indonesia tanpa sepengetahuan masyarakat adat pemilik hak ulayat di tanah Papua,”
katanya.
Menurut Gobay, berbagai kebijakan itu menimbulkan banyak konflik agraria di Papua. Akan tetapi, ketika masyarakat adat menuntut tanah adatnya dikembalikan, mereka malah dituduh sebagai separatis, hak hidupnya dilanggar. Ketika masyarakat adat mendatangi perusahaan [yang merampas tanah ulayatnya], mereka dihadapkan dengan [aparat keamanan], dan berujung kepada pelanggaran HAM,” kata Gobay.
Ia mencontohkan kasus pelanggaran HAM Wasior Berdarah pada 2003, yang bermula dari konflik antara masyarakat adat dengan perusahaan yang memilik Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di Wasior. “Saat itu masyarakat adat melihat HPH itu sudah berakhir masa waktunya. Masyarakat adat meminta tanah adatnya kembali. Ketika mereka datang protes, pihak perusahaan sudah memanggil Brimob Ketika masyarakat diperhadapkan dengan Brimob, maka akan tejadi kekerasan. Terjadi bentrok dan penyisiran terhadap masyarakat adat, dan terjadi tragedi Wasior Berdarah,”kata Gobay.
Baca juga: Eks napol: “Kami sudah pertanggungjawabkan kasus demo anti rasialisme Papua
Gobay membeberkan kasus terbaru pelanggaran atas hak tanah masyarakat adat di Tambrauw, Provinsi Papua Barat. Masyarakat adat memprotes harga pembelian kayu oleh perusahaan pemegang HPH. “Kemudian perusahaan mendatangkan Brimob, dan terjadi penyisiran. Mereka, [masyarakat adat yang protes] disebut sebagai aktivis Komite Nasional Papua Barat. Persoalan dasar yang terkait perampasan hak atas tanah diabaikan, dan [masyarakat adat] dikriminalisasi,” kata Gobay.
Gobay mengatakan ketika masyarakat dan mahasiswa menyuarakan pelanggaran HAM, mereka justru dibungkam. Berbagai demonstrasi dilarang, bahkan dibubarkan secara paksa, sehingga menyebabkan bentrokan, yang pada ujungnya menimbulkan pelanggaran HAM baru. “Instrumen pemberitahuan [rencana demonstrasi] kemudian dijadikan alat aparat keamanan untuk membungkam ruang demokrasi,” katanya.
Selaku pembicara dalam diskusi yang sama, pendiri Lokataru Haris Azhar menilai tidak ada perbaikan situasi Hak Asasi Manusia di Papua pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Haris menyebut Jokowi sudah enam kali datang ke Papua, dan mengklaim membangun Jalan Trans Papua sebagai upaya memperbaiki situasi Papua.
Baca juga: Yan Mandenas: Insiden Merauke, berindikasi melanggengkan rasisme
“Tapi justru perut bumi Papua itu dikeruk isinya. Keuntungan bagi Kas Negara kecil. Lebih banyak pemain tengah yang mengambil keuntungannya dari Tanah Papua,” kata Haris.
Haris mengkritisi pemerintah yang selalu mengklaim sudah menggelontorkan banyak uang ke Papua, karena persoalan Papua tidak bisa diselesaikan dengan gelontoran uang. Di sisi lain, Haris menilai negara dan aparatus negara tidak optimal menghormati, menghargai, dan melindungi orang Papua.
Berbagai kasus pelanggaran HAM di Papua terkait dengan pengambilan berbagai sumber daya alam di Papua, namun pemerintah pusat selalu berdalil bahwa mereka mengucurkan banyak uang ke Papua. “Kalau menurut saya justru sebaliknya. Kekayaan milik orang Papua menyumbang banyak [uang] untuk orang-orang tengah [yang menjadi pemain bisnis di Papua]. Sebagian kecil uang itu disumbangkan untuk negara,” kata Haris. (*)
Editor: Aryo Wisanggeni G