Veronica Koman, Tokoh Revolusi West Papua |
Aktivis Papua Barat dan pengacara hak asasi manusia Indonesia Veronica Koman, mengkritik tindakan keras militer baru-baru ini di dua provinsi di Papua dan Papua Barat, dalam webinar yang diselenggarakan Selandia Baru pada akhir pekan.
Pemerintah Indonesia sedang mencoba untuk mencegah pemberontakan seperti tahun lalu, ketika pemberontakan itu melawan rasisme dan penentuan nasib sendiri, itulah yang terjadi di lapangan,” ujar pengacara di pengasingan Veronica Koman, dikutip Pacific Media Watch.
Dia juga menyoroti beberapa temuan dari laporan terbaru dari kelompok hak asasi manusia Indonesia yang berbasis di London TAPOL, West Papua Uprising 2019, dan mengatakan rakyat menginginkan kebenaran.
Laporan tersebut mengatakan bahwa lebih dari 40.000 penduduk asli Papua Barat telah mengungsi karena tindakan keras militer. Dan lebih dari 300 orang telah meninggal.
Pemberontakan Papua Barat juga mengungkapkan bahwa sebagian orang diduga dibunuh oleh militer Indonesia, sebagian meninggal karena gizi buruk, dan sebagian lainnya karena sakit di kampung-kampung pengungsi.
Koman mengatakan, jumlah korban yang tercatat dalam laporan itu lebih sedikit dari jumlah sebenarnya.
Krisis Papua Barat (khususnya di wilayah Nduga dan Intan Jaya), sekarang menjadi perhatian utama sejak pendeta ketiga terbunuh, menurut Victor Yeimo, juru bicara internasional untuk Komite Nasional Papua Barat (KNPB), sebuah organisasi perlawanan sipil yang memobilisasi dan mengadvokasi Hak Papua Barat untuk menentukan nasib sendiri atas kemerdekaan.
Pembicara webinar lainnya adalah Ronny Kareni, seorang musisi dan aktivis Papua Barat, dan seorang pekerja muda pelibatan komunitas yang berbasis di Australia. Webinar #PapuanLivesMatter ini dimoderatori oleh mantan anggota parlemen Hijau Catherine Delahunty dan diskusi dibuka pada hari ulang tahunnya kemarin.
Kasus Veronica Koman: Saat Kebebasan Dipetimatikan
Veronica Koman. (Foto: ACFID/ Indonesia Melbourne)
KAMPANYE INTERNASIONAL
Grup West Papuan Action Auckland menyelenggarakan webinar dengan topik situasi politik saat ini, penolakan terhadap rencana “otonomi khusus” oleh Indonesia, dan kampanye untuk membebaskan Papua Barat di lapangan dan internasional.
Dalam sesi pembukaan, Delahunty menjelaskan bahwa informasi yang dibahas dalam webinar tersebut akan digunakan untuk pendidikan politik Aotearoa Selandia Baru dan politisi lokal yang “sangat lamban” mengangkat isu HAM dan kemerdekaan Papua Barat.
“Sekarang, seperti yang Anda ketahui, situasi di Papua Barat telah menjadi sangat serius selama bertahun-tahun dan terus menjadi masalah besar. Dan pentingnya gerakan solidaritas di seluruh dunia ini tidak bisa dianggap remeh,” ucap Delahunty, dilansir dari Pacific Media Watch.
Victor Yeimo mengatakan, pembunuhan baru-baru ini terhadap seorang katekis Katolik di Intan Jaya telah menambah keresahan bagi penduduk asli Papua Barat.
“Dalam tiga bulan terakhir kami melihat bahwa militer Indonesia telah menembak pendeta kami dan juga seorang katekis Katolik,” imbuhnya.
PENENTANGAN TERHADAP ‘OTONOMI KHUSUS’
Kareni, Koman, dan Yeimo mengatakan, status “otonomi khusus” yang diberlakukan Indonesia bukanlah solusi bagi aspirasi masyarakat adat Papua Barat.
Kebanyakan orang Papua menolak undang-undang Otonomi Khusus dan menginginkan referendum kemerdekaan.
“Saat ini sudah ada 90 organisasi yang ikut atau menandatangani petisi referendum. Webinar, seminar, dan pernyataan pers terus berlanjut dari hari ke hari untuk menolak perpanjangan otonomi khusus di Papua Barat,” ungkap Yeimo.
Koman mengatakan, otonomi khusus merupakan bagian dari praktik penjajahan Indonesia terhadap masyarakat adat Papua Barat.
“Otonomi khusus telah digunakan oleh Indonesia untuk menutupi kolonialisme, dan kolonialisme tetap menjadi senjata. Inilah yang sebenarnya sedang diciptakan Indonesia, perang kelas antara elit Papua Barat melawan akar rumput,” tutur Koman, dinukil dari Pacific Media Watch.
Kareni menuturkan, status otonomi khusus dijadikan kampanye oleh pemerintah Indonesia.
Hal itu selalu dijadikan propaganda pemerintah di forum internasional, dengan mengatakan bahwa masyarakat Papua Barat diberi hak penuh untuk mengatur diri sendiri melalui undang-undang otonomi khusus, sehingga yang dibutuhkan masyarakat Papua adalah lebih banyak pembangunan, katanya.
“Dalam 10 tahun ‘otonomi khusus’, masyarakat Papua Barat menolaknya dan juga membuat pengumuman besar bahwa itu telah gagal, dan sekarang kita memasuki dua dekade. Dan sekarang (pemerintah Indonesia) ingin memperluasnya lebih jauh.”
DAMPAK BESAR PADA MASYARAKAT
“Ini hanya untuk melanjutkan kepentingan mereka yang lebih besar (atas) investasi asing ekonomi di kawasan, dan itu akan berdampak besar pada martabat, tanah, dan juga lingkungan dan setiap masalah yang kita bicarakan hari ini.”
Meski Koman dan Yeimo adalah orang “paling dicari” oleh pemerintah Indonesia, mereka tetap konsisten aktif dan sangat mempertaruhkan nyawa mereka dalam mengkampanyekan penentuan nasib sendiri untuk rakyat Papua Barat.
Koman menyoroti hasil kerja advokasinya dalam menyebarkan informasi, nyawanya terancam di Indonesia.
Meski menghadapi risiko ini, ia terus mengadvokasi isu tersebut di tingkat internasional.
“Saya memiliki misi pribadi. Kenapa saya fokus menyebarkan informasi tentang Papua Barat karena saya berasal dari sana,” ujarnya, dikutip Pacific Media Watch.
“Saya dulu orang yang sangat nasionalis dan itu karena saya tidak tahu apa-apa tentang Papua Barat. Dan saya percaya bahwa rakyat Indonesia tidak tahu apa yang sedang terjadi, itulah mengapa saya pikir Papua Barat tidak membutuhkan propaganda apa pun.”
“Rakyat hanya butuh kebenaran tentang apa yang terjadi di Papua Barat,” ujarnya menekankan.
Victor Yeimo dan Veronica Koman sama-sama mengatakan bahwa gerakan solidaritas untuk Papua Barat di Indonesia semakin kuat.
“Itu juga terjadi di seluruh dunia,” tutur Kareni.
Panel webinar ini mengajak orang-orang Aotearoa Selandia Baru, orang-orang di Pasifik, dan lainnya di seluruh dunia, untuk bergabung dalam perjuangan solidaritas Papua Barat, Pacific Media Watch melaporkan.
Penerjemah dan editor: Aziza Larasati
Keterangan foto utama: Seorang anak laki-laki membantu membentangkan bendera nasionalis Papua Barat, yang dikenal sebagai Bintang Kejora. (Foto: Francesco Vincenzi/IPS)