Type Here to Get Search Results !

Pentingnya Sejarah Perjanjian New York (New York Agreement) 15 Agustus 1962

"𝐊𝐥𝐚𝐢𝐦 𝐈𝐧𝐝𝐨𝐧𝐞𝐬𝐢𝐚 𝐚𝐭𝐚𝐬 𝐭𝐞𝐫𝐢𝐭𝐨𝐫𝐢 𝐖𝐞𝐬𝐭 𝐏𝐚𝐩𝐮𝐚 𝐚𝐝𝐚𝐥𝐚𝐡 𝐭𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐦𝐞𝐧𝐝𝐚𝐬𝐚𝐫 𝐝𝐚𝐧 𝐢𝐥𝐞𝐠𝐚𝐥."

Ini salinan asli Perjanjian New York atau yang lebih dikenal luas sebagai "New York Agreement", adalah salah satu konsensi paling penting dalam sejarah perjalanan bangsa Papua, karena memutuskan masa depan tanah dan manusia Papua. 

Perjanjian ini ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 1962 di Kota New York, Amerika Serikat oleh pemerintah Kerajaan Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia serta disaksikan oleh Amerika Serikat sebagai pemrakarsa pertemuan tersebut. Walaupun yang dibahas adalah hak dan hajat hidup orang Papua, nyatanya satu pun orang Papua tidak dilibatkan dalam perjanjian ini. 

Pihak-pihak yang terlibat dalam proses ini beralasan bahwa "orang Papua masih terlalu primitif" sehingga tidak bisa "diajak" duduk bersama. Argumen ini nyatanya tidak mendasar dan menunjukkan watak rasis, sebab, saat itu semua orang Papua yang terpelajar sudah mengkonsolidasikan diri dan membentuk 8 partai politik dan semuanya bersatu dalam sebuah wadah yang disebut New Gunea Raad, bahkan 1 tahun sebelumnya dewan ini telah mendeklarasikan kemerdekaan dengan menyusun nama negara, West Papua; lagu kebangsaan, Hai Tanahku Papua; Bendera negara, Bintang Kejora; dsb, dsb. 

Pada tanggal 1 September 1962 hanya 9 dari 28 anggota New Guinea Raad yang mendukung Perjanjian New York. Dalam pemilihan suara putaran kedua, setengah dari Dewan New Guinea terpaksa keluar ruangan dan menolak dengan tegas Perjanjian New York. 

Tidak cukup di situ, pada 19 September 1962, di bawah pimpinan Herman Wajoi dan Nikolas Tanggahma, Kongres Nasional Papua (KNP) Papua dilaksanakan dan hasilnya, pertama, menolak Perjanjian New York khususnya pasal II tentang penyerahan administrasi kekuasan atas Papua dari Belanda kepada UNTEA dan selanjutnya diserahkan kepada Indonesia. Kedua, mendesak dilakukan plebisit yang adil dan partisipatif dibawah pengawasan PBB dalam rangka menentukan nasib sendiri bagi bangsa Papua. 

Tanggal 2 Desember 1962 Dewan Biak Numfor menyusun sebuah resolusi yang intinya mendukung poin nomor dua KNP dan mencela rencana PBB untuk menyerahkan Papua ke tangan penjajah [Indonesia] yang kejam. Segera setelah ini, protes dalam bentuk demonstrasi meledak di seluruh Tanah Papua. Indonesia merespon ini dengan tindakan membabi buta. Sejumlah perawat Papua di Holandia diserang pada malam tanggal 17 Desember: 2 pemuda ditusuk dengan pisau, 4 perawat putri mengalami pelecehan seksual (meraba payudara dan menusuk vagina). Sedangkan pembantian lain terjadi di Teminabuan, Ayamaru, Moi, Malind, Tiom, Kelilla, Sarmi. Juga di Mnukwar. 

Tanggal 17-18 Januari, dibawah pimpinan sersan Frits Awom, Korps Pasukan Sukarelawan Papua melancarkan perlawanan bersenjata di Mnukwar, hasilnya tentara Indonesia dipukul mundur ke barak. Dan menolak dengan tegas kehadiran Indonesia di atas tanah Papua. 

Pada tanggal 1 Mei 1963 penyerahan administrasi West Papua dari UNTEA kepada Indonesia. Sesuai Persetujuan New York pasal II. Dan selanjutnya Indonesia yang akan mengatur proses plebisit atau hal menentukan nasib sendiri penduduk setempat sesuai pasal XIV Perjanjian New York. Selanjutnya dalam pasal XV mengatur bahwa:

"Sesudah penjerahan tanggung djawab sepenuhja kepada Republik Indonesia, tugas pertama bagi Republik Indonesia adalah menggiatkan lebih landjut pendidikan rakjat, memberantas buta huruf dan menggiatkan perkembangan sosial, kebudajaan, dan ekonomi mereka. Selandjutnya akan diusahakan pula, sesuai dengan praktek Indonesia dewasa ini, untuk mempertjepat rakjat turut serta dalam pemerintahan setempat, dengan djalan pemilihan-pemilihan umum periodik. Segala aspek jang bersangkutan dengan hak untuk memilih setjara bebas, akan diatur menurut sjarat-sjarat jang tercantum dalam persetudjuan ini".

Rincian dari poin terakhir dari pasal XV adalah, tercantum dan dipertegas dalam pasal XVIII khususnya bagian a dan d yang masing-masing berbunyi:
a. "Musjawarah dengan dewan perwakilan tentang prosedure dan tjara-tjara jang tepat jang harus dituruti untuk menetapkan kehendak rakjat jang dijantakan setjara bebas"
d. "Hak pemilihan orang dewasa, laki-laki dan perempuan, bukan warga negara asing, untuk turut memilih dalam soal menentukan sendiri, sesuai dengan praktek internasional, jang merupakan penduduk pada waktu penandatanganan persetudjuan ini dan pada saat pemungutan suara menentukan [nasib] sendiri, termasuk djuga penduduk, jang berangkat sesudah tahun 1945 dan kembali ke wilayah ini untuk tetap kembali ke wilayah ini untuk menetap kembali sesudah berachirnja administrasi Belanda". 

Kemudian dipertegas lagi dalam bagian "Hak-Hak Penduduk" pasal XXII poin 1 bahwa: "UNTEA dan Indonesia akan menjamin sepenuhja hak-hak, termasuk kebebasan berbitjara, kebebasan bergerak dan berapat bagi penduduk wilayah". Namun dalam praktiknya, Indonesia melanggar semua keputusan ini, terutama hak masyarakat untuk secara bebas memilih, bergerak dan mengememukakan pendapat. 

Ini dibuktikan dengan 7 rangkaian operasi militer Indonesia sepanjang 1961-1968 yang utamanya adalah untuk membasmi gerakan perlawanan rakyat, dan mengintimidasi rakyat agar setuju "ikut Indonesia". Ini berarti hak bergerak, berbicara dan mengemukakan pendapat bagi rakyat Papua sebagaimana diatur dalam Perjanjian New York pasal XV, XVIII dan XXII tidak dilaksanakan sama sekali dan Indonesia lah yang memperkosa itu.

Kemudian pada tahun 1969 proses plebisit berlangsung, sesuai pasal XVIII poin b, semua orang dewasa, perempuan dan laki-laki yang bukan warga negara asing berhak memilih. Pada tahun 1969 jumlah penduduk asli Papua adalah 800 ribu jiwa. Harusnya sesuai perintah pasal XVII semua ikut memilih. Namun dalam praktiknya Indonesia hanya memilih 1025 orang, (yang sebelumnya telah diseleksi dengan cara tipu daya, dan intimidasi) untuk memilih. Lagi-lagi Indonesia beralasan bahwa orang Papua masih terlalu primitif, padahal tahun 1971 pemilihan umum RI berlangsung di Papua dan 1/3 dari penduduk Papua ikut serta dalam pemilihan tersebut. Itu artinya kemenangan plebisit pada 1969 oleh Indonesia adalah hasil dari pertarungan berdarah, penuh tipu daya, dan cacat secara hukum dan moral. 

Selain pelanggaran terhadap Perjanjian New York, lebih penting lagi adalah Perjanjian New York adalah ilegal dan cacat secara prosedural karena tidak melibatkan satu pun orang Papua sebagai pemilik mutlak tanah West Papua. 

Dengan demikian klaim Indonesia atas teritori West Papua adalah tidak mendasar dan ilegal.

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

Hollywood Movies