Referendum Diberikan, Papua Dipastikan Lepas
17:19
0
Jumat, 12/08/2011 16:23 WIB
Gerakan Baru Papua Merdeka
Deden Gunawan - detikNews
Jakarta - Masyarakat asli Papua merasa tidak mendapat banyak manfaat dengan bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sudah setengah abad lebih bergabung, kehidupan mereka tetap tertinggal.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Papua pada 2010, menyebutkan, sekitar 80 persen penduduk asli Papua hidup dalam keterbelakangan, miskin, dan sangat tertinggal dalam pendidikan. Rumah tangga miskin mencapai 83,04 persen atau 482.184 rumah tangga.
Padahal lebih Rp 30 triliun dana dari pemerintah telah dikucurkan untuk otonomi khusus (otsus) di Papua. Dana Otsus dikucurkan dengan tujuan untuk mendorong pembangunan infrastruktur dan sosial ekonomi masyarakat setempat, yang relatif tertinggal dibanding daerah lainnya. Tapi kondisi Papua membuktikan dana Otsus tidak mengenai sasaran atau menyimpang.
Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Maco Tabuni menilai UU Otsus Papua sudah tidak tepat sejak awal. UU Otsus Papua dianggap sebagai upaya pemerintah RI untuk memaksakan kehendaknya terhadap rakyat Papua. Dana otsus Papua, bagi Maco, hanya upaya win-win solution antara Organisasi Papua Merdeka (OPM) dengan pemerintah.
“Jadi bukan bagian penyelesaian masalah Papua. Sebab sampai saat ini banyak masyarakat Papua merasa sebagai masyarakat yang terjajah oleh RI sejak tahun 1961," kata Tabuni kepada detik+.
Karena dana otsus itu hanya bersifat win-win solution jangan heran kalau uang triliunan tersebut digunakan tidak dengan semestinya. Dana Otsus itu hanya dijadikan bancakan oleh elit-elit di Papua untuk kepentingan ekonomi belaka. Sementara untuk kesejahteraan rakyat sama sekali tidak menyentuh.
Tabuni bahkan mengatakan pernyataan pejabat Pemda yang menyatakan orang asli Papua sudah minum susu, merupakan kebohongan besar. Sebab kenyataanya, masyarakat Papua masih menderita.
Karena alasan itu, Tabuni dan sejumlah aktivis yang tergabung dengan KNPB mendesak diadakannya referendum bagi masyarakat Papua. Pada 2 Agustus 2011 lalu, KNPB menggelar demo yang diikuti ribuan orang Papua asli di sejumlah kota untuk menyuarakan tuntutan referendum ini.
Referendum dinilai merupakan jalan satu-satunya untuk menyelesaikan persoalan di Papua yang sudah terjadi sejak 1961. Dengan cara itu bisa diketahui apa keinginan masyarakat Papua sebenarnya, mau gabung dengan pemerintah RI atau Merdeka
"Tidak ada jalan lain,” gugat Tabuni yang sempat kuliah di Manado tapi berhenti di tengah jalan.
Meski demikian saat ditanya soal seberapa banyak masyarakat Papua menginginkan referendum, Tabuni menyatakan justru dengan referendum bisa diketahui masyarakat Papua ingin bergabung dengan RI atau berdiri sendiri alias merdeka.
Sementara pengamat sosial Thamrin Amal Tamagola menyatakan, saat ini sebagian besar masyarakat Papua memang menginginkan referendum. Peta masyarakat yang menginginkan referendum ini berasal dari masyarakat Papua yang melek pendidikan dan kepala-kepala suku atau adat. Sementara untuk tokoh agama terpecah. Sebab sebagian kecil tokoh agama merasa khawatir jika diterapkan referendum di Papua. Sedangkan tokoh masyarakat yang ada di birokrasi tentu saja akan menentang referendum.
"Kalau dikalkulasi saat ini sepertinya sebagian besar masyarakat memang menginginkan referendum. Sebab sebagian besar masyarakat Papua menganggap Otsus Papua telah gagal. Petanya, referendum bakal menang,” kata Thamrin.
Kondisi ini tentu saja harus diwaspadai pemerintah pusat. Bila setuju digelar referendum, sudah hamper dipastikan Papua akan lepas seperti yang terjadi dengan Timor Leste. Untuk mengatasi desakan referendum ini, Thamrin menyarankan adanya dialog antara tokoh-tokoh Papua dan pemerintah yang dimediasi pihak ketiga.
Tapi kalau pihak ketiganya dari asing tentu saja pemerintah akan menolak. Jadi pemerintah sebaiknya meminta LIPI menjadi pihak ketiga untuk memediasi dialog tersebut. Sebab lembaga kajian ini dianggap netral, baik oleh masyarakat Papua maupun pemerintah. Apalagi LIPI memiliki roadmap soal Papua.
Bagi Thamrin, sikap masyarakat Papua yang menganggap Otsus gagal disebabkan banyaknya tindakan korup yang dilakukan elit Papua atau pejabat Pemda. Akibatnya masyarakat Papua merasa kesal dan menganggap pejabat Pemda hanya kaki tangan pemerintah pusat. Kekecewaan masyarakat Papua terhadap Pemda kemudian menimbulkan kekesalan masyarakat terhadap pemerintah pusat.
"Jadi solusinya menghilangkan dulu keengganan atau sikap apriori masyarakat Papua terhadap Otsus," kata Thamrin.
Selain itu, Thamrin kemudian memberikan saran solusi yang diusung Frans Seda. Solusi itu berupa memberikan pendidikan kepada masyarakat Papua untuk menjadi guru atau perawat. Sebab dari penelitian yang dilakukan Frans Seda, masyarakat Papua sangat bangga bisa berkiprah langsung di masyarakat misalnya dengan berprofesi sebagai guru atau perawat.
Tapi sayangnya, gagasan yang diusung Frans Seda sama sekali tidak dipakai. Yang ada dana Otsus Papua yang digelontorkan pemerintah yang mencapai puluhan triliun rupiah lebih banyak dikorup oleh elit politik di Papua maupun pemerintah pusat. Untuk itu pemerintah diminta mereformasi pejabat-pejabat pemda Papua.
"Jangan sampai masyarakat Papua saat ini merasa dirinya terjajah. Mereka mendapat perlakuan diskriminatif dari pemerintah, baik dari segi hukum, pendidikan, sosial, dan ekonomi," ujar Thamrin.
(ddg/nrl)
http://www.detiknews.com/read/2011/08/12/162338/1702640/159/referendum-diberikan-papua-dipastikan-lepas
Tags